Allah tidak memanggil orang-orang yang mampu, tetapi Allah memampukan orang-orang yang terpanggil untuk berkunjung ke Baitullah.
Secara bahasa, haji berarti menyengaja atau mengunjungi. Dalam terminologi Islam, haji adalah perjalanan ke Baitullah untuk melaksanakan amalan-amalan seperti wukuf, tawaf, sa’i, dan lainnya pada waktu tertentu, demi memperoleh pahala dan ampunan dari Allah SWT. Seluruh rangkaian ibadah ini dilakukan di Arab Saudi, sehingga secara logika, hanya mereka yang memiliki kemampuan materi yang bisa berangkat.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Setelah membaca tulisan ini dan Anda berniat sungguh-sungguh untuk berhaji atau umrah, hanya ada dua kemungkinan:
Contoh nyata seperti “Tukang Becak Naik Haji”, “Penjual Gorengan Menabung 20 Tahun untuk Haji”, atau sinetron “Tukang Bubur Naik Haji” menunjukkan bahwa kesempatan bukan semata soal kemampuan finansial. Sementara itu, banyak orang mampu membeli mobil ratusan juta hingga miliaran rupiah, tetapi belum juga berhaji meski biaya haji hanya sekitar Rp38 juta.
Realitas Kesempatan Berhaji
Ini bukan sindiran, melainkan refleksi tentang makna “kesempatan” dalam berhaji dan berumrah.
Haji: Panggilan, Dipanggil, atau Terpanggil?
Untuk memahami istilah ini, kita bisa menyandingkan kata “panggil” dengan “daftar”: panggilan, dipanggil, terpanggil — seperti daftaran, didaftar, terdaftar. Untuk menjadi “terpanggil”, kita harus merespons panggilan terlebih dahulu.
Allah telah menyebarkan undangan ini sejak zaman Nabi Ibrahim AS dan Rasulullah SAW, dan akan terus berlaku hingga akhir zaman. Panggilan ini adalah bentuk inisiatif keimanan dan ketakwaan yang mendorong kita untuk hadir, merasa wajib hadir, bahkan merasa tidak enak jika tidak hadir.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran [3]: 96–97 menyatakan: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..."
Jadi, Allah memanggil, kita dipanggil, namun hanya sebagian yang benar-benar terpanggil — tergantung bagaimana kita merespons panggilan tersebut.
Tentang Titipan Nama dan Doa
Sering kali kita berkata kepada jamaah haji atau umrah, “Titip nama ya…” Padahal, bukan kapasitas manusia untuk memanggil nama kita di hadapan Allah. Yang lebih tepat adalah meminta doa sesuai harapan kita, karena sesama muslim memang dianjurkan saling mendoakan dalam kebaikan.
Belum Ada Panggilan?
Istilah “belum ada panggilan” seolah menyiratkan bahwa Allah pilih kasih. Padahal, Allah mencintai semua hamba-Nya yang beribadah dengan ikhlas, bukan hanya mereka yang berhaji. Maka, lebih tepat jika kita menyebut bahwa haji adalah atas izin Allah, bukan semata “panggilan”.
Keinginan Kuat dan Usaha Nyata
Niat saja tidak cukup. Harus disertai keinginan kuat yang diwujudkan dalam doa, usaha, dan tindakan nyata. Bahkan jika belum sempat berhaji hingga akhir hayat, masih ada peluang melalui anak cucu yang menghajikan kita.
Sudah Siap Sejak Dini
Sebagai muslim, kita sudah disiapkan sejak lahir untuk membangun lima tiang rukun Islam. Namun, banyak yang hanya membangun empat tiang dan mengabaikan tiang kelima: haji. Padahal, semua tiang harus dibangun agar bangunan Islam kita kokoh.
Antrean Panjang Haji
Ibadah haji sangat mengandalkan fisik. Maka, lebih baik dilakukan saat masih muda dan sehat. Namun, fakta menunjukkan bahwa antrean haji di Indonesia sangat panjang. Jika mendaftar hari ini, kemungkinan baru berangkat 15–20 tahun lagi. Maka, jangan tunda niat dan pendaftaran.
Karena antrean panjang, banyak orang beralih ke umrah. Dengan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kelas menengah, jumlah jamaah umrah pun meningkat. Bisa jadi, di masa depan, umrah pun harus antre karena keterbatasan visa.